Kamis, 24 Juni 2010

Pilihan Menjadi Dokter : Mimpi atau Ambisi?

Sebenarnya udah lama pengen nulis tentang ini, tapi karena kondisi mood yang awut-awutan akhirnya gak pernah jadi tulisannya. Lucunya pagi tadi gue baru aja nulis tentang semangat-semangatnya gue ikut ujian masuk. Eh begitu tulisannya di post, mood gue jadi berantakan lagi #curcol.

Terkadang suka mikir, "Kenapa ya sekolah dokter mahal?" atau kadang suka sebel pas di ceritain Bu Haji ada sebuah perguruan tinggi negeri yang nerima mahasiswa baru prodi pendidikan dokter hanya karena bokap si bocah memberi uang sumbangan dengan jumlah mencapai angka milyaran. "Kalo punya uang segitu, kenapa harus jadi dokter? Padahal sekolah dokter susah. Kenapa gak bikin rumah kontrakan aja yang banyak? Cepet kaya dan gak susah."

Mungkin fenomena seperti ini sudah bukan merupakan hal yang aneh yah? Makanya tidak heran zaman sekarang banyak dokter yang malapraktik. Banyak dokter yang di kontrak sama perusahaan farmasi supaya "ngejual" obat mereka ke pasien. Oh, pantes yah berobat ke dokter sekarang mahal. 

Profesi dokter dijadikan lahan meraup keuntungan sebesar-besarnya (baca : biar balik modal)

Sebagai seorang siswi yang bercita-cita menjadi dokter, gue merasa profesi dokter jadi terhina. Padahal niat gue untuk jadi seorang dokter bukan karena ingin kekayaan atau ingin kehormatan. Cita-cita ini datang begitu saja sejak gue masih TK.

Membaca notes dari Tria, gue jadi tergugah pengen curhat soal ini.



"Surat untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran". Huaaaa itu pas banget dengan apa yang gue rasain selama ini. Oya guys, gue juga pernah diceritain tentang seorang Ibu yang nepsong banget anaknya pengen jadi dokter. "Pokoknya si Mawar (nama disamarkan) harus jadi dokter, Bu. Dia mau kedokteran mana saja saya bayarin, berapapun biayanya." Yaiks, gila... gimana profesi dokter tidak semakin bobrok, kalau jebolan fakultas kedokteran aja korban ambisi ibunya.

Wahai kawan-kawan yang ingin jadi dokter, tanyakan kembali pada diri kalian... Apakah tujuan kalian menjadi dokter?

Tujuan gue menjadi dokter awalnya karena gue gak punya bakat di bidang teknik atau analis. Dua tahun jadi anak ipa pun gue hanya menguasai pelajaran biologi, hehehe parah kan. Nah, tujuan sebenarnya baru gue sadari ketika salah satu sohib gue Rizkiana Arvinda kena gegar otak ringan akibat kecelakaan motor. Pihak rumah sakit pada waktu itu betul-betul gak banget, di rawat di bagian neurolog tapi tidak mendapat perlakuan neurologis, lucu memang.

Sobat, gue sering banget pergi ke rumah sakit. Bukan karena sakit sih, tapi Mama dulu kerja di rumah sakit. Jadi gue sedikit banyak tahu bagaimana sih dokter itu. Apalagi kakak gue sendiri adalah seorang dokter gigi. Dokter adalah abdi sosial, seorang dokter dituntut untuk benar-benar rela mengorbankan waktu dan tenaga untuk mengabdi pada publik. Bukan berlomba-lomba bekerja untuk mendapatkan gaji yang besar.

Yang penting bagi seorang dokter bukanlah perkara almamaternya. Tidak peduli dia memakai almamater kuning, hijau, krem, pink, atau apalah. Dokter berada dalam kedudukan yang sama dengan jas putih. Bersih sama bersih, kotor sama kotor.

So, tanyakan pada hatimu.. Pilihan menjadi dokter mimpi atau ambisi?

1 komentar: