Aku selalu tertarik bila diajak membahas
soal masa depan, soal cita-cita. Karena saat kita membahasnya, secara tidak
langsung kita membahas tentang rasa optimis. Apalagi setelah satu langkah
mimpiku terealisasikan; menjadi mahasiswa kedokteran.
Mungkin mimpi pertamaku terbilang
sederhana, ya hanya sesederhana itu. Aku enggan menyebut sebuah “mimpi” menjadi
“obsesi” karena kedua kata ini, menurutku memiliki makna yang berbeda. Kita
bermimpi, karena kita yakin dengan jarak yang akan kita capai dan kita sadar
akan kemampuan kita. Bila tidak tercapai, dengan bermimpi, kita memiliki plan
B. Sedangkan kata obsesi, mencerminkan kira begitu “ngoyo” alias “ngebet
banget” ingin mencapainya, tidak ada rencana lain bila tujuan tersebut tidak tercapai.
Menyedihkan sungguh orang yang begitu terobsesi terhadap suatu keinginan.
Bicara tentang impianku setelah menjadi
dokter, banyak sekali yang ingin kujabarkan. Namun, entahlah apakah ini hanya
akan menjadi sekedar khayalan atau menjadi kenyataan. Hanya Allah yang mampu
memberikan jawabannya. Sejauh ini aku hanya berusaha menjadi yang terbaik.
Setelah lulus menjadi dokter, rencananya
terlebih dahulu aku akan menikah. Setelah menikah, tentu saja aku akan berkarir
menjadi dokter pada umumnya. Impianku sederhana saja, aku ingin menjadi dokter
umum di puskesmaa, biarlah suamiku saja nanti, kalau memang dia juga seorang
dokter, yang bekerja di Rumah Sakit. Karirku cukup sederhana saja.
Lantas, tentu saja aku tidak akan
menyerah sampai di situ, setelah waktu dan situasi memungkinkan, aku ingin
melanjutkan di pendidikan dokter spesialis Farmakologi Klinik. Mengapa harus
bidang itu? Karena aku merasa hanya di bidang inilah aku dapat mengembangkan
diri, aku ingin menjadi dosen di kampus tempatku belajar, kelak menggantikan
seorang prof di bidang ini yang sangat aku kagumi. Hanya itu, yaa… Cukup itu
saja impianku.
Aku sadar aku ini seorang wanita.
Tanggung jawabku sebagai ibu dan sebagai istri jauh lebih besar dibandingkan
mengejar gelar sebanyak-banyaknya. Tidak, bukannya aku kolot, aku hanya tidak
mau, kelak, saat suamiku berhasil dalam karirnyadan aku juga berhasil dalam
karirku, kami akan lupa mengasuh dan mendidik anak-anak kami.
Padahal madrasah pertama bagi seorang
anak adalah keluarga, madrasah pertama adalah ibu.
blog yang bagus, perempuan boleh bercita-cita besar namun jangan sampai melupakan keluarga :)
BalasHapus