Selasa, 28 Juni 2011

Dalam Dekapan Penantian

Siang itu, awan di atas kepalaku berarak, riang sekali, tapi aku hanya bisa menerawang di kejauhan. Ingin aku turut menari dengan mereka, melupakan segala perih, apalagi jika teringat peristiwa beberapa bulan terakhir ini. Tak terasa halte penantian dan pengharapan itu telah sunyi, menyisakan aku sendiri. Semua kawan dan sahabat yang dulu menunggu bersamaku, kini sudah pergi bersama armadanya masing-masing. Armada yang membawa harapan dan cita-cita mereka ke suatu masa yang sering kami sebut “masa depan”.

Sementara aku di sini, masih setia menunggu dan berdoa dengan segenap kesabaran. Aku seperti orang yang sangat ingin pulang setelah sekian lama merantau, sedang menunggu bus yang akan membawaku ke rumah. Namun, ternyata bus yang kunanti tak kunjung datang, sementara hasrat kerinduan semakin membara. Akhirnya aku tersadar bahwa aku punya dua pilihan, tetap menunggu dalam ketidakpastian atau menyambung dengan bus lain.

Hari itu adalah hari eksekusi dari ikhtiar terakhirku untuk kuliah di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri. Berbeda dengan ikhtiar sebelumnya, kali ini aku enggan berharap banyak, aku ikhlas apa pun yang terjadi, sekalipun itu artinya aku harus menunda hingga tahun berikutnya. Dengan sedikit rasa aras-arasan kubuka laptopku dan kusambungkan modem padanya, kamar ini seperti biasa, panas, terlebih jika ditambah mimpi yang sudah bertahun lamanya aku timbun di sini. Sejurus kemudian aku sudah tenggelam di dalam pengumuman penerimaan mahasiswa baru tersebut, kuteliti namaku di bagian program studi pendidikan dokter. Dari dua belas orang diterima, di sana, sudah kuduga, tidak ada namaku, sebab namaku tersangkut di program studi kesehatan masyarakat. Kecewa? Sudah biasa, aku sampai lupa bagaimana rasanya. Ayah menepuk pundakku perlahan, sabar ya nduk, begitu katanya.

Mungkin selama ini aku terlalu yakin bahwa aku bukanlah murid yang bodoh, aku terlalu optimis bahwa aku pasti bisa menjadi seorang calon dokter. Aku tidak sadar keyakinanku itu akhirnya bisa meremukkan hati Ayah, Ibu, bahkan kakak-kakakku. Pikiranku semakin jauh menerawang bersama gumpalan awan, aku ingin memeluk mereka, dan menangis. Tapi siang itu terlalu cerah untuk turun hujan. Siang itu, begitu membahagiakan bagi Ayah.

Satu pekan sebelum perkuliahan dimulai, aku semacam terserang penyakit jiwa. Aku tertekan, padahal tidak ada seorang pun yang menekanku. Rasanya aku tidak ingin menjalani kuliah yang sebenarnya sangat tidak aku minati. Lambungku mual, sakit, seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum kecil nan tipis, mulutku pahit, dan yang terpenting, aku hanya ingin menangis sepanjang hari. Lagi-lagi aku tidak sadar bahwa sakitku ini, menyakitkan Ayah, menyakitkan Ibu, membuat kakak perempuanku turut menangis saat suatu malam aku menelponnya sambil menjerit-jerit. Keikhlasanku tenyata semu.

Ayahlah yang membujukku agar melakoni apa yang telah kudapatkan ini, walaupun beliau juga tahu yang aku inginkan hanyalah menjalani sekolah kedokteran. Aku ingin menolak, tapi bagaimana caranya, aku sangat mencintai Ayah dan Ibuku, akhirnya aku tertekan, oleh keputusanku sendiri.

Satu bulan menjalani wajib asrama, membuatku sedikit lupa akan rasa tertekanku. Beruntunglah selama di tempat perhentian ini, ehm.. maksudku, tempat di mana aku kuliah sementara ini, aku bertemu dengan banyak sahabat baru. Merekalah yang akhirnya tahu jika tahun ini aku ingin sekali hijrah. Mereka pulalah yang akhirnya menyemangatiku.

Aku mulai bisa menerima apa yang aku dapatkan, terlebih beberapa hari yang lalu Ibu berjanji akan mengizinkanku mengulang ujian masuk kuliah tahun berikutnya. Rembulan dari balkon asrama seakan tersenyum kepadaku, desiran angin lembut membelai pipi dan rambutku, perlahan-lahan mereka membisikkan kata, “Berusahalah sekeras yang kamu mampu, akan kami tiupkan doamu agar lekas sampai.. Kamu pasti bisa.”

Hari-hari berikutnya, di dalam ranselku, selain buku modul kuliah, selalu terselip juga persiapan materi ujian, dan tak lupa butiran semangat yang perlahan mulai bersemi. Setelah jam kuliah berakhir aku selalu duduk menyendiri di perpustakaan kampus untuk membaca ulang materi-materi ujian itu. Dan semenjak saat itu, aku mulai berpikir, aku memang belum pantas. Sekolah kedokteran bukanlah sekolah mudah, untuk mencapainya saja kita harus bersaing denga ribuan jawara lain. Bagaimana bisa selama ini aku hanya mengharapkan keajaiban dan pertolongan Allah, sementara aku tidak berusaha dengan maksimal. Baiklah selama ini aku memang hanya berpura-pura maksimal, begadang atau bahkan sampai tidak tidur, mengurangi waktu istirahat, dan membaca setiap saat, itu adalah usaha semu. Aku melupakan satu faktor yang sangat penting, bahkan lebih penting dari sekedar doa.

Semangat itu kini bukan lagi sekedar benih, tetapi sudah menjadi rerimbunan pohon yang daunnya menaungi setiap nafas dan membasuh tiap peluh kelelahanku. Aku mulai melupakan kewajiban kuliahku. Aku mulai melalaikan tugas dan melupakan segala tentang presensi, aku bahkan lupa mengenai ujian semester ganjil. Di tengah kelupaanku itu, sambil tertatih aku kumpulkan nyawaku untuk membaca modul kuliah. Ujian! Bagaimana bisa aku tidak peduli?

Tidak jauh dari peristiwa ujian tengah semester ada lagi momen berharga, momen penting pertamaku tahun ini. Ujian masuk sekolah kedokteran di dua peguruan tinggi ternama di Yogyakarta, kota asalku, kota impianku. Selepas ujian, selepas segalanya, aku segera melarikan diriku bersama Ibu menuju dua kampus itu. Namun hasilnya nihil. Nampaknya ada yang masih aku lupakan, tapi aku tidak sadar. Tidak kunjung sadar.

Selama di Yogya aku mengandalkan bantuan adik sepupuku untuk mengantar sana-sini, mengemis bantuan kakakku untuk memberi ongkos berangkat dengan kereta fajar utama. Padahal ibu memintaku untuk pergi dengan kereta ekonomi dan tidak merepotkan kakak. Mengapa, aku masih enggan untuk sedikit saja hidup prihatin. Mengapa aku masih saja enggan berusaha sendiri? Mengapa aku masih saja berusaha membuat luka di hari Ayah dan Ibuku kembali ternganga?

Aku adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, mengerikan memang, karena aku manja. Setiap kali ujian masuk perguruan tinggi, aku selalu merengek minta diantar. Aku memang jahat, memperbudak orang tuaku sendiri. Aku telah berbohong. Apakah demikian yang disebut cinta. Aku selalu berikrar bahwa aku mencintai Ayah dan Ibuku, dan cita-cita ini untuk mereka. Aku bohong, aku masih tega membakar darah mereka untuk kemanjaanku. Aku gagal, yah, aku gagal kuliah kedokteran pun pasti karena itu. Kini aku menyesal.

Aku terus mencari universitas yang sudah mengadakan ujian masuk. Kini aku sadar, aku telah menyakiti hati mereka, cinta dalam hidupku. Hari itu, kaus merah jambu, rok, jilbab, dan sepatu dekil, khas anak kuliahan tak terurus, aku sambangi salah satu kampus terkenal di Jakarta. Ujian kali ini aku sendiri, mungkin hanya ditemani supir angkot dan jalan sepi menuju fakultas yang aku tuju. Ternyata aku memang sendiri, sementara anak lain bergelayut manja pada orang tuanya. Ah, Ayah... Seandainya aku tidak mencintaimu, mungkin aku sudah merengek minta diantar, tapi anakmu ini sudah dewasa, aku tidak ingin lagi-lagi menyulitkanmu kemudian mengecewakanmu lagi jika gagal. Akan aku tunjukkan, bahwa dengan kemandiriankulah aku bisa! Jadilah, hari itu benar-benar hari yang panjang dan tentu saja, sendiri...

Dua pekan setelahnya, aku sudah terduduk manis di kamarku, tempat timbunan mimpi-mimpiku, dengan setia menanti pengumuman di laptop hitamku. Oh, andai saja hari ini ada kabar gembira yang bisa membuat mereka tersenyum, aku ingin ya Allah, aku ingin... Naas, pengumuman hasil ujian ternyata diundur. Khawatir ini akan menjadi pertanda buruk, aku mengencangkan sabuk, berdoa pada Sang Mahakuasa.

Ya Allah, cukup aku sajalah yang mengiba kepada-Mu denga ratapan dan linangan air mata. Biarlah jika Engkau pun tiada iba kepadaku, asal jangan Kau buat mereka yang meratap dan menangis lagi.

Selang empat hari kemudian, sorak sorai terdengar dari kamar 206, kamar tempatku dan tiga orang sahabat kuliahku tinggal hampir delapan bulan terakhir ini. Tak lama ada sesosok tubuh yang bersujud, tanda syukur, dan itu aku. Penantianku nan hampa akhirnya bersambut, halte pengharapan itu kini kosong. Aku menatap halte itu dengan mata basah, terima kasih sudah menaungi mimpiku dan melindungiku dari keputusasaan yang lebih dalam. Halte itu telah lebih setia menungguiku hingga aku akhirnya menemukan armadaku. Aku tatap ia dalam-dalam, dia berkata.


Terus menanti di sini tanpa sedikitpun kepastian adalah bodoh. Berterimakasihlah pada mereka, Ayah dan Ibumu, karena telah menunjukkanmu jalan lain.

Aku tersenyum. Gumpalan awan yang semula hanya bisa kuterawang dari kejauhan kini turun, menyambut kedua tanganku yang tengadah ke atas, menyambut mimpi-mimpi yang terpendam. Mereka mengajakku menari, tapi aku emoh. Perkara belum usai, begitu tolakku.

Jangan sekali-kali mengaku pemuda jika masih terus bergantung pada orang tua.

Sekejab kemudian semburat senyuman kembali menghiasi wajah kami, aku, awan, dan seluruh penghuni langit. Diam-diam mereka telah menyuntikkan semangat ke raga yang rapuh ini. Aku menyambut kembali uluran tangan mereka, terbawa bersama angin dan menari. Merasakan manisnya usaha keras dari sebuah mimpi. Manis yang tidak akan terlupa, setelah delapan bulan berjuang dengan darah namun dibutakan oleh kesombongan.


Halte itu melambaikan tangan kepadaku dengan secercah air mata bahagia yang turut kurasakan hangatnya saat mengalir di pipi. Air mata itu adalah mutiara yang menghiasi pipi kami. Mutiara tercantik yang pernah kulihat. Mutiara itu aku genggam erat, kusematkan dalam hati dan akan kusimpan selamanya.


Sebuah kenangan dari halte yang penuh dengan mimpi dan harapan. Aku dengar kini halte itu sudah tidak di tempat yang sama. Halte itu pindah, ke tempat yang kehangatannya tidak lagi ku kenal. Satu-satunya yang masih bisa terasa adalah ramah senyum penghuninya terdahulu, mereka yang dulu menunggu bersamaku. Kami yang kini kembali menunggu armada mimpi berikutnya, di pijakan yang berbeda. Semoga halte-halte itu akan segera kami tinggalkan, bersama..


Dedicated to sahabat-sahabat halteku, 206 et al, Bapak, dan Mama.

2 komentar:

  1. Zizah juga sadar 1 hal setelah baca cerpen ini. terimakasih sudah mau berbagi. :)

    BalasHapus
  2. subhanallah :) bagus ka :)

    BalasHapus