"Apa yang membuatmu kecewa dan bersedih wahai, mata?"
Namun, mata diam, seperti biasa dia tidak mampu menjawab. Hanya tetes-tetes linangan yang menjelaskan betapa kecewa dan bersedihnya dia. Jika sudah demikian, aku hanya bisa diam, menatap kesedihannya yang mendalam tanpa bisa membantu.
Terkadang hati sedikit bersuara, memberitakan apa yang sebenarnya dia risaukan. Tapi kasihan, ketika mata menangis, hatilah yang semakin terluka. Maka terkadang aku menyeka air dari si mata, mengusap-usapnya agar tidak terus menangis dan menyakiti hati. Menyanyikan nada-nada ilahi tentang janji-Nya yang indah.
Sesekali mata tersenyum, tapi air masih menyungai darinya. Kemudian aku bertanya lagi,
"Lantas apa yang kau risaukan, mata?"
Ketika itu, barulah dia menjawab. Kecewanya sama dengan kecewaku, sedihnya pun sama dengan sedihku. Aku tersenyum...
"Wahai mata, kesedihan kita sama... Cobalah ikhlas, sesungguhnya ada nilai lain yang kita dapatkan dari berlapang dada."
"Bukankah kita sudah sama sering merasakan ini dahulu?"
"Buat apa kita bersedih? Lihatlah, si hati semakin berdarah seiring dengan tangisan kita."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar